BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, informasi dan komunikasi telah
membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia. Laju perkembangan itu
sangat luas hingga hampir mencakup seluruh kehidupan manusia, khususnya di
bidang teknologi informasi dan komunikasi. Inilah yang melatarbelakangi
perlunya penerapan iptek di bidang pendidikan.
Meski demikian banyak permasalahan pendidikan yang harus dipecahkan
bersama. Berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan dengan upaya penguasaan
dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak permasalahan dan
tantangan yang berkaitan dengan dunia pendidikan di Indonesia di era
globalisasi. Salah satu permasalahan pendidikan mendasar yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia saat ini adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang
dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah.
Profil pendidikan di Indonesia ternyata sangatlah kompleks, berbeda dengan
pendidikan di negara lain. Sebagai gambaran bahwa mutu pendidikan Indonesia
dianggap oleh banyak kalangan masih rendah. Agar mampu berperan dalam
persaingan global terutama dalam meningkatkan mutu pendidikan, maka perlu terus
mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya terlebih dahulu.
Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan
yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien
dalam proses pembangunan. SDM yang sangat berperan dalam rangka peningkatan
mutu pendidikan di Indonesia adalah guru sebagai pendidik dan siswa sendiri
sebagai generasi penerus dan harapan bangsa.
Berkaitan dengan kualitas SDM, pendidikan memegang peran yang sangat
penting. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang
terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas SDM itu sendiri. Menyadari
pentingnya proses peningkatan kualitas SDM, maka pemerintah bersama-sama dengan
berbagai kalangan akan terus berupaya mewujudkan amanat itu melalui
pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana
pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru
dan tenaga kependidikan lainnya.
Bentuk penerapan penggunaan teknologi di bidang pendidikan tersebut berupa
pengenalan komputer dan perangkat TIK lainnya, pembelajaran tentang komputer
dan TIK, penggunaan komputer dan TIK untuk belajar dan pembelajaran, komputer
dan perangkat TIK digunakan sebagai media untuk membantu dan mempermudah
kegiatan pembelajaran. Bidang pendidikan yang utama menjadi perhatian adalah
pendidikan formal, yaitu pada jenjang Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama,
Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan serta Perguruan Tinggi.
Untuk jenjang SMP nama mata pelajaran Tekonologi Informasi dan Komunikasi
sama dengan Keterampilan Komputer dan Pengolahan Informasi pada tingkat SMK.
Walaupun secara garis besar substansi materi antara keduanya hampir sama, namun
terdapat juga perbedaan mendasar. Pembelajaran KKPI di SMK, lebih khususnya di
jurusan Teknik Komputer Jaringan lebih menekankan pada keahlian tertentu yang
harus dikuasai siswa dengan cara praktek menjadi teknisi (bongkar pasang
hardware) serta pemahaman dan pendalaman program software. Disamping itu,
alokasi waktu yang disediakan untuk mata pelajaran ini lebih banyak dibanding
mata pelajaran lainnya.
Pandangan teori belajar konstruktivisme bukanlah hal yang baru, akan tetapi
merupakan penggabungan dari berbagai pendekatan (Bednar, dkk, dalam Duffy &
Jonassen, 1992). Dalam Khadijah, (2006: 69), Fosnot (1996) mengatakan
konstruktivisme adalah teori tentang pengetahuan dan belajar, yang menguraikan
tentang apa itu “mengetahui” (knowing) dan bagaimana seseorang “menjadi tahu”
(comes to know) . Kontruktivis memandang ilmu pengetahuan bersifat
non-objective, temporer, dan selalu berubah.
Belajar menurut konstruktivis sebagai penyusunan pengetahuan dari
pengalaman kongkrit, melalui aktifitas kolaboratif, refleksi dan interpretasi.
Aktivitas yang demikian memungkinkan pemelajar memiliki pemahaman yang berbeda
terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya dan perspektf yang dipakai
dalam menginterpretasikannya. Sementara pembelajaran merupakan aktivitas
pengaturan lingkungan agar terjadi proses belajar, yaitu interaksi si pemelajar
dengan lingkungannya (Khadijah, 2006 : 70).
Dalam makalah ini akan disusun dan di bahas tentang implikasi teori belajar
konstruktivitasme pada mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi di
Sekolah Menengah Pertama (SMP).
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa konsep teori
belajar konstruktivisme?
2.
Bagaimana aplikasinya?
3.
Apa saja
langkah-langkah strategi untuk mengidentifikasi teori belajar konstruktivisme
pada mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi di Sekolah Menengah
Pertama (SMP).
C.
TUJUAN PEMBAHASAN
1.
Untuk mengetahui
konsep teori belajar konstruktivisme.
2.
Untuk mengetahui
aplikasi teori belajar konstruktivisme dalam pelajaran TIK tingkat SMP.
3.
Untuk mengetahui apa
saja langkah-langkah strategi untuk mengidentifikasi teori belajar
konstruktivisme pada mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi di
Sekolah Menengah Pertama (SMP).
D.
MANFAAT
PEMBAHANSAN
1.
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan
pertimbangan yang positif bagi pelaksanaan proses pembelajaran.
2.
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat
bagi peneliti sendiri guna meningkatkan profesionalisme di bidang penelitian
dan pengajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Perspektif Konsep
Teori Belajar Konstruktivisme
Konsep teori belajar konstruktivisme berakar dari filsafat tertentu tentang
manusia dan pengetahuan. Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana
seseorang menjadi tahu dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi
aliran konstruktivisme. Pada dasarnya perspektif ini mempunyai asumsi bahwa
pengetahuan lebih bersifat kontektual daripada absolut, yang memungkinkan
adanya penafsiran jamak (multiple perspektives) bukan hanya satu perspektif
saja. Hal ini berarti bahwa “pengetahuan dibentuk menjadi pemahaman individual
melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain”. Peranan kontribusi siswa
terhadap makna, pemahaman, dan proses belajar melalui kegiatan individual dan
sosial menjadi sangat penting (Bruninga, Schraw, dan Ronning, 1999 dalam
Suciati, 2007 : 6.5).
Perspektif konstruktivisme mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih
menekankan proses daripada hasil. hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting,
tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai
penting. dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar dan strategi belajar
akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. sebagai
upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan yang bersifat subyektif (Suciati,
2007 : 6.6).
Perspekstif konstruktivisme pembelajaran di kelas dilihat sebagai proses
konstruksi pengetahuan oleh siswa. dimana mengharuskan siswa bersikap aktif.
Dalam proses ini siswa mengembangkan gagasan atau konsep baru berdasarkan
analisis dan pemikiran ulang terhadap pengetahuan yang diperoleh pada masa lalu
dan masa kini. Pembelajaran konstruktivisme disusun berorientasi lebih pada
kebutuhan dan kondisi siswa dengan memicu rasa ingin tahu dan ketrampilan
memecahkan masalah melalui inquiry learning, reflective learning dan
problem-based learning (Suciati, 2007 : 6.7).
Konsep teori belajar konstruktivisme mempunyai interpretasi perwujudan yang
beragam. Belajar merupakan proses aktif untuk megkonstruksi pengetahuan dan
bukan proses menerima pengetahuan. Proses pembelajaran yang terjadi lebih
dimaksudkan untuk membantu atau mendukung proses belajar, bukan sekedar untuk
menyampaikan pengetahuan (Suciati, 2007 : 6.7 dalam Cunningham & Duffy,
1996 : 172).
Konsep teori belajar konstruktivisme bukan merupakan pendekatan yang asing
bagi perspektif pendidikan di Indonesia. Ki Hajar Dewantoro, seorang tokoh
pendidikan nasional, sudah lama memperkenalkan pendekatan pendidikan yang diungkapkan
melalui tiga prinsip utama peran pendidik yaitu “ing ngarso sung tulodo” (bila
berada di depan anak didik, beri contoh tauladan), “ing madyo mbangun karso”
(bila berada di tengah-tengah siswa, bangunkan keinginan anak untuk belajar),
dan “tut wuri handayani” (bila berada di belakang siswa, beri dorongan
semangat) (Suciati, 2007 : 6.12).
Dalam wawasan ini sebenarnya siswalah yang mempunyai peranan penting dalam
belajar, sedangkan guru secara fleksibel menempatkan diri sebagaimana
diperlukan oleh siswa dalam proses memahami dunianya. Pada suatu saat guru
memberi contoh, atau model bagi siswanya, dan pada saat yang lain guru
membangunkan rasa ingin tahundan keinginan anak untuk mempelajari sesuatu yang
baru. Pada saat tertentu guru membiarkan anak mengeksplorasi dan bereksperimen
sendiri dengan lingkungannya, guru cukup memberi semangat dan arahan saja
(Suciati, 2007 : 6.12).
2. Aplikasi Hakikat Anak
Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori
belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini
biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan
kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar,
yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa.
Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri
tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori
motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi,1988: 132 dalam
http/www.Akhmadsudrajat.wordpress.com, 2008).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar,
1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak
melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru
dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran
karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat
(Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses
mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru
atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno,
1996: 7 dalam http/www.Akhmadsudrajat wordpress.com, 2008).
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara
pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif
anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi
dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan
proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan
keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61 dalam http/www.Akhmadsudrajat wordpress.com,
2008).
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan
konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222)
mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai
sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan
seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang
datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran
bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas,
(5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran,
materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir
yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses
aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba
dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998 : 5 dalam
http/www.Akhmadsudrajat wordpress.com, 2008). Dari pengertian di atas, dapat
dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara
interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau
lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap
perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga
disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988 : 133 dalam
http/www.Akhmadsudrajat wordpress.com, 2008) mengemukakan; (1) perkembangan
intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan
urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan
tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan
sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan,
pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan
adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut
dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang
menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur
kognitif yang timbul (akomodasi). Adapun implikasi dari teori belajar
konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63 dalam http/www.ahmadsudrajat.wrdpress.com, 2008) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan
menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak
yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang
dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang
memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta
didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui
belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan
(3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang
sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan
teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi
pengetahuan pada diri peserta didik.
3. Aplikasi Hakikat
Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme.
Dalam teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan
begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus
aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan
kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai
botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai
dengan kehendak guru.
Tasker (1992: 30 dalam http/www.akhmadsudrajat.wordpress.com, 2008) mengemukakan tiga penekanan dalam teori
belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat
kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah
mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima. Wheatley (1991 :
12 dalam http/www.akhmadsudrajat.wordpress.com,2008) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan
dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme.
Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif
oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu
pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak
secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu
pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4)
mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar
itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk
mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang
akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Tahap-tahap dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996 : 3 dalam
http/www.akhmadsudrajat.wordpress.com,2008) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya
dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara
mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih
bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4)
siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan
ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler
(1996: 20 dalam http/www.akhmadsudrajat.wordpress.com,2008) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan
rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa
untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan
kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih
kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba
gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah
dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka,
dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang
mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan
siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam
refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata
lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka
melalui asimilasi dan akomodasi.
4. Implikasi Teori
Konstruktivisme dalam Pembelajaran TIK Pada Sekolah Menengah Pertama.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan
tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan
kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh
sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan
penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.
Kurikulum disusun untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan
kebutuhan dan potensi yang ada di sekolah . Sekolah Menengah Pertama (SMP),
sebagai unit penyelenggara pendidikan juga memperhatikan perkembangan dan
tantangan masa depan. Perkembangan dan tantangan itu menyangkut, antara lain:
(1) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) globalisasi yang memungkinkan
sangat cepatnya arus perubahan dan mobilitas antar dan lintas sektor serta
tempat; (3) era informasi, (4) pengaruh globalisasi terhadap perubahan perilaku
dan moral manusia; (5) berubahnya kesadaran masyarakat dan orang tua terhadap
pendidikan; serta (6) era pasar bebas atau AFTA. Adapun kurikulum yang
diterapkan di Indonesia secara umum untuk saat ini adalah Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan yang disingkat menjadi KTSP.
KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di
masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat
satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan,
kalender pendidikan, dan silabus.
Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema
tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi
pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu,
dan sumber/bahan/alat belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi
dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran,
dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.
Dalam menyusun silabus dapat menggunakan salah satu format yang sesuai
dengan kebutuhan satuan pendidikan. Pada dasarnya ada dua jenis, yaitu jenis
kolom (format 1) dan jenis uraian (format 2). Dalam menyusun format urutan KD,
materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator dan seterusnya
dapat ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan, sejauh tidak mengurangi
komponen-komponen dalam silabus.
Selanjutnya, silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi
dasar ke dalam materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian
kompetensi untuk penilaian. Dengan demikian, silabus pada dasarnya menjawab
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1)
apa kompetensi yang
harus dicapai siswa yang dirumuskan dalam standar,
2)
bagaimana cara
mencapainya yang dijabarkan dalam pengalaman belajar beserta alokasi waktu dan
alat serta sumber belajar yang diperlukan,
3)
bagaimana mengetahui
pencapaian kompetensi yang ditandai dengan penyusunan indikator sebagai acuan
dalam menentukan jenis dan aspek yang akan dinilai.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran merupakan bagian dari perencanaan proses
pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar,
metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar. Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) merupakan penjabaran dari silabus yang telah
disusun pada langkah sebelumnya. RPP disusun untuk setiap kali pertemuan. Di dalam
RPP tercermin kegiatan yang dilakukan guru dan peserta didik untuk mencapai
kompetensi yang telah ditetapkan.
Adapun komponen minimal dari sebuah RPP sebagai berikut:
1. Identitas Sekolah
2. Kelas dan Semester
3. Alokasi Waktu
4. Standar Kompetensi
5. Kompetensi Dasar
6. Indikator
7. Tujuan Pembelajaran
8. Materi Ajar
9. Metode Pembelajaran
10. Media dan alat belajar
11. Sumber Belajar
12. Penilaian Hasil Belajar
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) disusun dalam rangka
memenuhi amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan. Dalam penyusunannya, KTSP jenjang pendidikan dasar
dan menengah mengacu kepada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standart Isi untuk Pendidikan Dasar dan Menengah, serta
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi.
Selanjutnya, menurut Muslich (2008:12-13) ada empat komponen dalam KTSP
yaitu:
(1) tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan
(2) struktur dan muatan KTSP
(3) kalender pendidikan
(4) silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Berkaitan dengan komponen KTSP khususnya struktur dan muatan KTSP, untuk
strukturnya sebagai berikut kelompok mata pelajaran agama dan akhlaq mulia,
kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata
pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, kelompok mata pelajaran estetika,
kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan. Muatan KTSP meliputi
sejumlah mata pelajaran dan kedalamannya merupakan beban belajar bagi peserta
didik pada satuan pendidikan. Disamping itu, materi muatan lokal dan kegiatan
pengembangan diri termasuk ke dalam isi kurikulum.
Rumusan tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan mengacu pada tujuan
umum pendidikan. Adapun tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan
kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlaq mulia, serta keterampilan untuk
hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
Secara dokumentatif, komponen KTSP dikemas dalam dua dokumen yaitu Dokumen
I berisi acuan pengembangan KTSP, tujuan pendidikan, struktur dan muatan KTSP,
dan kalender pendidikan. Dokumen II memuat silabus dari SK/KD yang dikembangkan
sekolah (muatan lokal, mata pelajaran tambahan). Sebagai contoh struktur KTSP
SMK terdiri dari silabus mata pelajaran wajib dan silabus muatan lokal.
Substansi materi Teknologi Informasi dan Komunikasi di SMP hanya disajikan
kelas VII sebagai bahan penjelasan antara lain:
Kelas VII
Semester Ganjil
Alokasi Waktu : 30 x 45 menit
I.
Memahami Penggunaan
Teknologi Informasi dan Komunikasi dan Prospeknya dn masa mendatang.
1)
Mengidentifikasi
berbagai peralatan teknologi informasi dan komunikasi
2)
Mendeskripsikan
sejarah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dari masa lalu sampai sekarang
3)
Menjelaskan peranan
teknologi informasi dan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
4)
Mengidentifikasi
berbagai keuntungan dari penggunaan teknologi informasi dan komunikasi
5)
Mengidentifikasi berbagai
dampak negatif dari penggunaan teknologi informasi dan komunikasi
II.
Mengenal Operasi Dasar
Peralatan Komputer
1)
Mengaktifkan komputer
sesuai prosedur.
2)
Mematikan komputer
sesuai prosedur
3)
Melakukan operasi
dasar pada operating system dengan sistematis.
Kelas VII
Semester Genap
Alokasi Waktu : 30 x 45 menit
III.
Mempraktekkan ketrampilan dasar.
1)
Mengidentifikasi
berbagai komponen perangkat keras komputer.
2)
Mengidentifikasi
berbagai perangkat lunak program aplikasi.
3)
Mengidentifikasi
kegunaan dari beberapa program aplikasi.
4)
Mempraktekkan satu
program aplikasi.
KESIMPULAN
1)
Konsep teori belajar
konstruktivisme mempunyai interpretasi perwujudan yang beragam. Belajar
merupakan proses aktif untuk megkonstruksi pengetahuan dan bukan proses
menerima pengetahuan. Proses pembelajaran yang terjadi lebih dimaksudkan untuk
membantu atau mendukung proses belajar, bukan sekedar untuk menyampaikan
pengetahuan.
2)
Konsep teori belajar
konstruktivisme berakar dari filsafat tertentu tentang manusia dan pengetahuan.
Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi tahu
dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran konstruktivism
DAFTAR PUSTAKA
Dahar
Ratna Wilis, (1989). Teori-Teori Belajar.
Jakarta: P2LPTK Dirjen Dikti. Dekdikbud.
Hamid,
Abdul, (2009). Teori Belajar dan
Pembelajaran. Medan: -
Miarso, Yusufhadi, (2007). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta
: Kencana Prenada Media Group.
Seels, Barbara&Richey, Rita (1994). Teknologi Pembelajaran Defenisi dan
Kawasannya, 1994, Universitas Negeri Jakarta.
Suparno,
Paul, (1997). Filsafat Konstruktivisme
dalam Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Filsafat Kanisius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar