Jumat, 01 Juni 2012

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME


BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, informasi dan komunikasi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia. Laju perkembangan itu sangat luas hingga hampir mencakup seluruh kehidupan manusia, khususnya di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Inilah yang melatarbelakangi perlunya penerapan iptek di bidang pendidikan.
Meski demikian banyak permasalahan pendidikan yang harus dipecahkan bersama. Berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak permasalahan dan tantangan yang berkaitan dengan dunia pendidikan di Indonesia di era globalisasi. Salah satu permasalahan pendidikan mendasar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah.
Profil pendidikan di Indonesia ternyata sangatlah kompleks, berbeda dengan pendidikan di negara lain. Sebagai gambaran bahwa mutu pendidikan Indonesia dianggap oleh banyak kalangan masih rendah. Agar mampu berperan dalam persaingan global terutama dalam meningkatkan mutu pendidikan, maka perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya terlebih dahulu. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan. SDM yang sangat berperan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah guru sebagai pendidik dan siswa sendiri sebagai generasi penerus dan harapan bangsa.
Berkaitan dengan kualitas SDM, pendidikan memegang peran yang sangat penting. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas SDM itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas SDM, maka pemerintah bersama-sama dengan berbagai kalangan akan terus berupaya mewujudkan amanat itu melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya.
Bentuk penerapan penggunaan teknologi di bidang pendidikan tersebut berupa pengenalan komputer dan perangkat TIK lainnya, pembelajaran tentang komputer dan TIK, penggunaan komputer dan TIK untuk belajar dan pembelajaran, komputer dan perangkat TIK digunakan sebagai media untuk membantu dan mempermudah kegiatan pembelajaran. Bidang pendidikan yang utama menjadi perhatian adalah pendidikan formal, yaitu pada jenjang Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan serta Perguruan Tinggi.
Untuk jenjang SMP nama mata pelajaran Tekonologi Informasi dan Komunikasi sama dengan Keterampilan Komputer dan Pengolahan Informasi pada tingkat SMK. Walaupun secara garis besar substansi materi antara keduanya hampir sama, namun terdapat juga perbedaan mendasar. Pembelajaran KKPI di SMK, lebih khususnya di jurusan Teknik Komputer Jaringan lebih menekankan pada keahlian tertentu yang harus dikuasai siswa dengan cara praktek menjadi teknisi (bongkar pasang hardware) serta pemahaman dan pendalaman program software. Disamping itu, alokasi waktu yang disediakan untuk mata pelajaran ini lebih banyak dibanding mata pelajaran lainnya.
Pandangan teori belajar konstruktivisme bukanlah hal yang baru, akan tetapi merupakan penggabungan dari berbagai pendekatan (Bednar, dkk, dalam Duffy & Jonassen, 1992). Dalam Khadijah, (2006: 69), Fosnot (1996) mengatakan konstruktivisme adalah teori tentang pengetahuan dan belajar, yang menguraikan tentang apa itu “mengetahui” (knowing) dan bagaimana seseorang “menjadi tahu” (comes to know) . Kontruktivis memandang ilmu pengetahuan bersifat non-objective, temporer, dan selalu berubah.
Belajar menurut konstruktivis sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman kongkrit, melalui aktifitas kolaboratif, refleksi dan interpretasi. Aktivitas yang demikian memungkinkan pemelajar memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya dan perspektf yang dipakai dalam menginterpretasikannya. Sementara pembelajaran merupakan aktivitas pengaturan lingkungan agar terjadi proses belajar, yaitu interaksi si pemelajar dengan lingkungannya (Khadijah, 2006 : 70).
Dalam makalah ini akan disusun dan di bahas tentang implikasi teori belajar konstruktivitasme pada mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi di Sekolah Menengah Pertama (SMP).
B.     RUMUSAN MASALAH
1.       Apa konsep teori belajar konstruktivisme?
2.        Bagaimana aplikasinya?
3.       Apa saja langkah-langkah strategi untuk mengidentifikasi teori belajar konstruktivisme pada mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi di Sekolah Menengah Pertama (SMP).

C.      TUJUAN PEMBAHASAN
1.       Untuk mengetahui konsep teori belajar konstruktivisme.
2.       Untuk mengetahui aplikasi teori belajar konstruktivisme dalam pelajaran TIK tingkat SMP.
3.       Untuk mengetahui apa saja langkah-langkah strategi untuk mengidentifikasi teori belajar konstruktivisme pada mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi di Sekolah Menengah Pertama (SMP).

D.     MANFAAT PEMBAHANSAN
1.       Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan yang positif bagi pelaksanaan proses pembelajaran.
2.       Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti sendiri guna meningkatkan profesionalisme di bidang penelitian dan pengajaran.
BAB II
PEMBAHASAN

1.      Perspektif Konsep Teori Belajar Konstruktivisme
Konsep teori belajar konstruktivisme berakar dari filsafat tertentu tentang manusia dan pengetahuan. Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi tahu dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran konstruktivisme. Pada dasarnya perspektif ini mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat kontektual daripada absolut, yang memungkinkan adanya penafsiran jamak (multiple perspektives) bukan hanya satu perspektif saja. Hal ini berarti bahwa “pengetahuan dibentuk menjadi pemahaman individual melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain”. Peranan kontribusi siswa terhadap makna, pemahaman, dan proses belajar melalui kegiatan individual dan sosial menjadi sangat penting (Bruninga, Schraw, dan Ronning, 1999 dalam Suciati, 2007 : 6.5).
Perspektif konstruktivisme mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan proses daripada hasil. hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar dan strategi belajar akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan yang bersifat subyektif (Suciati, 2007 : 6.6).
Perspekstif konstruktivisme pembelajaran di kelas dilihat sebagai proses konstruksi pengetahuan oleh siswa. dimana mengharuskan siswa bersikap aktif. Dalam proses ini siswa mengembangkan gagasan atau konsep baru berdasarkan analisis dan pemikiran ulang terhadap pengetahuan yang diperoleh pada masa lalu dan masa kini. Pembelajaran konstruktivisme disusun berorientasi lebih pada kebutuhan dan kondisi siswa dengan memicu rasa ingin tahu dan ketrampilan memecahkan masalah melalui inquiry learning, reflective learning dan problem-based learning (Suciati, 2007 : 6.7).
Konsep teori belajar konstruktivisme mempunyai interpretasi perwujudan yang beragam. Belajar merupakan proses aktif untuk megkonstruksi pengetahuan dan bukan proses menerima pengetahuan. Proses pembelajaran yang terjadi lebih dimaksudkan untuk membantu atau mendukung proses belajar, bukan sekedar untuk menyampaikan pengetahuan (Suciati, 2007 : 6.7 dalam Cunningham & Duffy, 1996 : 172).
Konsep teori belajar konstruktivisme bukan merupakan pendekatan yang asing bagi perspektif pendidikan di Indonesia. Ki Hajar Dewantoro, seorang tokoh pendidikan nasional, sudah lama memperkenalkan pendekatan pendidikan yang diungkapkan melalui tiga prinsip utama peran pendidik yaitu “ing ngarso sung tulodo” (bila berada di depan anak didik, beri contoh tauladan), “ing madyo mbangun karso” (bila berada di tengah-tengah siswa, bangunkan keinginan anak untuk belajar), dan “tut wuri handayani” (bila berada di belakang siswa, beri dorongan semangat) (Suciati, 2007 : 6.12).
Dalam wawasan ini sebenarnya siswalah yang mempunyai peranan penting dalam belajar, sedangkan guru secara fleksibel menempatkan diri sebagaimana diperlukan oleh siswa dalam proses memahami dunianya. Pada suatu saat guru memberi contoh, atau model bagi siswanya, dan pada saat yang lain guru membangunkan rasa ingin tahundan keinginan anak untuk mempelajari sesuatu yang baru. Pada saat tertentu guru membiarkan anak mengeksplorasi dan bereksperimen sendiri dengan lingkungannya, guru cukup memberi semangat dan arahan saja (Suciati, 2007 : 6.12).
2.      Aplikasi Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi,1988: 132 dalam http/www.Akhmadsudrajat.wordpress.com, 2008).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7 dalam http/www.Akhmadsudrajat wordpress.com, 2008).
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61 dalam http/www.Akhmadsudrajat wordpress.com, 2008).
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998 : 5 dalam http/www.Akhmadsudrajat wordpress.com, 2008). Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988 : 133 dalam http/www.Akhmadsudrajat wordpress.com, 2008) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi). Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63 dalam http/www.ahmadsudrajat.wrdpress.com, 2008) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
3.      Aplikasi Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme.
Dalam teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Tasker (1992: 30 dalam http/www.akhmadsudrajat.wordpress.com, 2008) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima. Wheatley (1991 : 12 dalam http/www.akhmadsudrajat.wordpress.com,2008) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Tahap-tahap dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996 : 3 dalam http/www.akhmadsudrajat.wordpress.com,2008) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20 dalam http/www.akhmadsudrajat.wordpress.com,2008) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
4.      Implikasi Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran TIK Pada Sekolah Menengah Pertama.
 Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.
Kurikulum disusun untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di sekolah . Sekolah Menengah Pertama (SMP), sebagai unit penyelenggara pendidikan juga memperhatikan perkembangan dan tantangan masa depan. Perkembangan dan tantangan itu menyangkut, antara lain: (1) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) globalisasi yang memungkinkan sangat cepatnya arus perubahan dan mobilitas antar dan lintas sektor serta tempat; (3) era informasi, (4) pengaruh globalisasi terhadap perubahan perilaku dan moral manusia; (5) berubahnya kesadaran masyarakat dan orang tua terhadap pendidikan; serta (6) era pasar bebas atau AFTA. Adapun kurikulum yang diterapkan di Indonesia secara umum untuk saat ini adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang disingkat menjadi KTSP.
KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.
Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.
Dalam menyusun silabus dapat menggunakan salah satu format yang sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan. Pada dasarnya ada dua jenis, yaitu jenis kolom (format 1) dan jenis uraian (format 2). Dalam menyusun format urutan KD, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator dan seterusnya dapat ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan, sejauh tidak mengurangi komponen-komponen dalam silabus.
Selanjutnya, silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Dengan demikian, silabus pada dasarnya menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1)        apa kompetensi yang harus dicapai siswa yang dirumuskan dalam standar,
2)        bagaimana cara mencapainya yang dijabarkan dalam pengalaman belajar beserta alokasi waktu dan alat serta sumber belajar yang diperlukan,
3)        bagaimana mengetahui pencapaian kompetensi yang ditandai dengan penyusunan indikator sebagai acuan dalam menentukan jenis dan aspek yang akan dinilai.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran merupakan bagian dari perencanaan proses pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) merupakan penjabaran dari silabus yang telah disusun pada langkah sebelumnya. RPP disusun untuk setiap kali pertemuan. Di dalam RPP tercermin kegiatan yang dilakukan guru dan peserta didik untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan.
Adapun komponen minimal dari sebuah RPP sebagai berikut:
1. Identitas Sekolah
2. Kelas dan Semester
3. Alokasi Waktu
4. Standar Kompetensi
5. Kompetensi Dasar
6. Indikator
7. Tujuan Pembelajaran
8. Materi Ajar
9. Metode Pembelajaran
10. Media dan alat belajar
11. Sumber Belajar
12. Penilaian Hasil Belajar
 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) disusun dalam rangka memenuhi amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam penyusunannya, KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah mengacu kepada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standart Isi untuk Pendidikan Dasar dan Menengah, serta Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi.
Selanjutnya, menurut Muslich (2008:12-13) ada empat komponen dalam KTSP yaitu:
(1) tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan
(2) struktur dan muatan KTSP
(3) kalender pendidikan
(4) silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Berkaitan dengan komponen KTSP khususnya struktur dan muatan KTSP, untuk strukturnya sebagai berikut kelompok mata pelajaran agama dan akhlaq mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, kelompok mata pelajaran estetika, kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan. Muatan KTSP meliputi sejumlah mata pelajaran dan kedalamannya merupakan beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan. Disamping itu, materi muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri termasuk ke dalam isi kurikulum.
Rumusan tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan mengacu pada tujuan umum pendidikan. Adapun tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlaq mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
Secara dokumentatif, komponen KTSP dikemas dalam dua dokumen yaitu Dokumen I berisi acuan pengembangan KTSP, tujuan pendidikan, struktur dan muatan KTSP, dan kalender pendidikan. Dokumen II memuat silabus dari SK/KD yang dikembangkan sekolah (muatan lokal, mata pelajaran tambahan). Sebagai contoh struktur KTSP SMK terdiri dari silabus mata pelajaran wajib dan silabus muatan lokal.
Substansi materi Teknologi Informasi dan Komunikasi di SMP hanya disajikan kelas VII sebagai bahan penjelasan antara lain:
Kelas VII
Semester Ganjil
Alokasi Waktu : 30 x 45 menit
      I.               Memahami Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi dan Prospeknya dn masa mendatang.
1)        Mengidentifikasi berbagai peralatan teknologi informasi dan komunikasi
2)        Mendeskripsikan sejarah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dari masa lalu sampai sekarang
3)        Menjelaskan peranan teknologi informasi dan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
4)        Mengidentifikasi berbagai keuntungan dari penggunaan teknologi informasi dan komunikasi
5)        Mengidentifikasi berbagai dampak negatif dari penggunaan teknologi informasi dan komunikasi
    II.               Mengenal Operasi Dasar Peralatan Komputer
1)        Mengaktifkan komputer sesuai prosedur.
2)        Mematikan komputer sesuai prosedur
3)        Melakukan operasi dasar pada operating system dengan sistematis.
Kelas VII   
Semester Genap
Alokasi Waktu : 30 x 45 menit
III.               Mempraktekkan ketrampilan dasar.
1)        Mengidentifikasi berbagai komponen perangkat keras komputer.
2)        Mengidentifikasi berbagai perangkat lunak program aplikasi.
3)        Mengidentifikasi kegunaan dari beberapa program aplikasi.
4)        Mempraktekkan satu program aplikasi.

KESIMPULAN

1)      Konsep teori belajar konstruktivisme mempunyai interpretasi perwujudan yang beragam. Belajar merupakan proses aktif untuk megkonstruksi pengetahuan dan bukan proses menerima pengetahuan. Proses pembelajaran yang terjadi lebih dimaksudkan untuk membantu atau mendukung proses belajar, bukan sekedar untuk menyampaikan pengetahuan.
2)      Konsep teori belajar konstruktivisme berakar dari filsafat tertentu tentang manusia dan pengetahuan. Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi tahu dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran konstruktivism



DAFTAR PUSTAKA

Dahar Ratna Wilis, (1989). Teori-Teori Belajar. Jakarta: P2LPTK Dirjen Dikti. Dekdikbud.

Hamid, Abdul, (2009). Teori Belajar dan Pembelajaran. Medan: -

Miarso, Yusufhadi, (2007). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Seels, Barbara&Richey, Rita (1994). Teknologi Pembelajaran Defenisi dan Kawasannya, 1994, Universitas Negeri Jakarta.

Suparno, Paul, (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Filsafat Kanisius












































Tidak ada komentar:

Posting Komentar