BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan bagian penting
dari kehidupan yang sekaligus membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya.
Hewan juga “belajar” tetapi lebih ditentukan oleh instinknya, sedangkan manusia
belajar berarti merupakan rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju
kehidupan yang lebih berarti. Anak-anak menerima pendidikan dari orang tuanya
dan manakala anak-anak ini sudah dewasa dan berkeluarga mereka akan mendidik
anak-anaknya, begitu juga di sekolah dan perguruan tinggi, para siswa dan
mahasiswa diajar oleh guru dan dosen.
Pandangan klasik tentang pendidikan,
pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat menjalankan tiga fungsi sekaligus. Pertama, mempersiapkan generasi muda
untuk memegang peranan-peranan tertentu pada masa mendatang. Kedua, mentransfer
pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan. Ketiga,
mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan
masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup masyarakat dan peradaban.
Butir kedua dan ketiga tersebut memberikan pengertian bahwa
pandidikan bukan hanya transfer of knowledge tetapi juga transfer of
value. Dengan demikian pendidikan dapat menjadi helper bagi umat
manusia.
Landasan Pendidikan merupakan salah
satu kajian yang dikembangkan dalam kaitannya dengan dunia
pendidikan.
Filsafat ialah hasil pemikiran dan
perenungan secara mendalam tentang sesuatu sampai ke akar-akarnya. Sesuatu
dapat berarti terbatas dan dapat pula berarti tidak terbatas. filsafat membahas
segala sesuatu yang ada di alam ini yang sering dikatakan filsafat umum. Sementara itu filsafat yang terbatas ialah filsafat
ilmu, filsafat pendidikan, filsafat seni, filsafat agama, dan sebagainya.
Jadi berfikir filsafat dalam pendidikan adalah
berfikir mengakar/menuju akar atau intisari pendidikan. Terdapat cukup alasan
yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila ada pertanyaan-pertanyaan
rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak dijawab oleh ilmu atau cabang
ilmu-ilmu. Misalnya: apakah yang dimaksud dengan pengetahuan dan/atau ilmu?
Dapatkah kita bergerak ke kiri dan kanan di dalam ruang tetapi tidak terikat
oleh waktu? Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sekitar pendidikan
dan ilmu pendidikan. Kiranya kegiatan pendidikan bukanlah sekedar gejala sosial
yang bersifat rasional semata mengingat kita mengharapkan pendidikan yang
terbaik untuk bangsa Indonesia, lebih-lebih untuk anak-anak kita masing-masing;
ilmu pendidikan secara umum tidak begitu maju ketimbang ilmu-ilmu sosial dan
biologi tetapi tidak berarti bahwa ilmu pendidikan itu sekedar ilmu atau suatu
studi terapan berdasarkan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan
atau ilmu perilaku.
B. Batasan Masalah
Adapun cakupan landasan pendidikan
adalah : landasan hukum, landasan filsafat, landasan sejarah, landasan sosial
budaya, landasan psikologi, dan landasan ekonomi. Dalam makalah ini hanya akan
dibahas mengenai landasan filsafat.
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas,
maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimanakah
landasan filsafat dalam pendidikan di Indonesia?
D. Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan makalah ini adalah untuk mengkaji
landasan filsafat dalam pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Filsafat
1. Pengertian
Tentang Landasan Filsafat
Landasan filosofis merupakan landasan
yang berkaitan dengan makna atau hakikat pendidikan, yang berusaha menelaah
masalah-masalah pokok seperti: Apakah berpendidikan itu? Mengapa
pendidikan itu diperlukan? Apa yang seharusnya menjadi tujuannya, dan sebagainya. Landasan filosofis adalah
landasan yang berdasarkan atau bersifat filsafat (falsafah). Kata filsafat (philosophy)
bersumber dari bahasa Yunani, philien berarti cinta dan sophia
berarti kebijaksanaan. Cinta berarti hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar
atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau
kebenaran yang sesungguhnya. Jadi filsafat artinya hasrat atau keinginan yang
sungguh-sungguh akan kebenaran sejati (Soetriono dan Rita Hanafi, 2007 : 20)
Terdapat kaitan yang erat antara
pendidikan dan filsafat karena filsafat mencoba merumuskan citra tentang
manusia dan mayarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan citra
itu. Rumusan tentang harkat dan martabat manusia beserta masyarakatnya ikut
menentukan tujuan dan cara-cara penyelenggaraan pendidikan, dan dari sisi lain
pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Filsafat pendidikan merupakan
jawaban secara kritis dan mendasar berbagai pertanyaan pokok sekitar
pendidikan, seperti apa, mengapa, kemana, dan bagaimana, dan sebagainya dari
pendidikan itu.
Kejelasan berbagai hal itu sangat
perlu untuk menjadi landasan berbagai keputusan dan tindakan yang dilakukan
dalam pendidikan. Hal itu sangat penting karena hasil pendidikan itu akan
segera tampak, sehingga setiap keputusan dan tindakan itu harus diyakinkan
kebenaran dan ketepatannya meskipun hasilnya belum dapat dipastikan.
Filsafat membahas sesuatu dari segala
aspeknya yang mendalam, maka dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaran ilmu
yang sifatnya relative. Karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi
yang biasa diamati hanya sebagian kecil saja. Diibaratkan mengamati gunung es,
kita hanya mampu melihat yang diatas permukaan laut saja. Sementara itu
filsafat mencoba menyelami sampai kedasar gunung es itu untuk meraba segala
sesuatu yang ada melalui pikiran dan renungan yang kritis. Dalam garis besarnya
ada empat cabang filsafat yaitu metafisika, epistimologi, logika, dan etika, dengan
kandungan materi masing-masing sebagai berikut :
1. Metafisika ialah filsafat yang meninjau tentang
hakekat segala sesuatu yang terdapat di alam ini. Dalam kaitannya dengan manusia, ada dua pandangan yaitu:
a)
Manusia pada hakekatnya adalah spiritual. Yang ada adalah jiwa atau
roh, yang lain adalah semu. Pendidikan berkewajiban membebaskan jiwa dari
ikatan semu. Pendidikan adalah untuk mengaktualisasi diri.
b)
Manusia adalah organisme materi. Pendidikan adalah untuk hidup. Pendidikan berkewajiban membuat
kehidupan manusia menjadi menyenangkan.
2. Epistemologi ialah filsafat yang membahas tentang
pengetahuan dan kebenaran, dengan rincian sebagai berikut:
a. Ada
lima sumber pengetahuan yaitu :
1) Otoritas, yang terdapat dalam ensiklopedi, buku teks
yang baik, rumus, dan tabel.
2) Common sense, yang ada pada adat dan tradisi.
3) Intuisi yang berkaitan dengan perasaan.
4) Pikiran untuk menyimpulkan hasil pengalaman.
5) Pengalaman yang terkontrol untuk mendapatkan pengetahuan secara
ilmiah.
b. Ada empat teori kebenaran yaitu :
1) Koheren
yaitu, sesuatu akan benar bila konsisten dengan kebenaran umum.
2) Koresponden,
sesuatu akan benar bila ia tepat dengan fakta yang dijelaskan.
3) Pragmatisme,
sesuatu dipandang benar bila konsekuensinya ber manfaat bagi kehidupan.
4) Skeptivisme,
kebenaran dicari secara ilmiah dan tidak ada kebenaran yang
lengkap.
3. Logika ialah filsafat yang membahas tentang cara
manusia berpikir dengan benar. Dengan memahami filsafat logika di
harapkan manusia bisa berpikir dengan mengemukakan pendapatnya secara tepat dan
benar.
4. Etika ialah filsafat yang menguraikan tentang perilaku
manusia. Nilai dan norma masyarakat serta ajaran agama menjadi
pokok pemikiran dalam filsafat ini. Filsafat etika sangat besar mempengaruhi
pendidikan sebab tujuan pendidikan untuk mengembangkan perilaku manusia, antara
lain afeksi peserta didik. (Made Pidarta, 1997: 77-78).
Kajian yang dilakukan oleh berbagai
cabang filsafat diatas, akan besar pengaruhnya terhadap pendidikan, karena
prinsip-prinsip dan kebenaran– kebenaran hasil kajian tersebut pada umumnya
diterapkan dalam bidang pendidikan. Peranan filsafat dalam pendidikan tersebut
berkaitan dengan hasil kajian antara lain tentang :
(1) Keberadaan dan kedudukan manusia sebagai makluk di
dunia ini
(2) Masyarakat dan kebudayaanya.
(3) Keterbatasan manusia sebagai makluk hidup yang banyak
menghadapi tantangan.
(4) Perlunya landasan pemikiran dalam pekerjaan pendidikan,
utamanya filsafat pendidikan.
2. Aliran Dalam Filsafat
Agar uraian tentang filsafat
pendidikan ini menjadi lebih lengkap, berikut ini diuraikan beberapa aliran
filsafat pendidikan yang dominan di dunia (Made Pidarta, 1997: 90-94), aliran itu ialah :
1. Esensialis.
Filsafat pendidikan Esensialisme bertitik tolak dari
kebenaran yang telah terbukti berabad-abad lamanya. Kebenaran seperti itulah
yang esensial, yang lain adalah
suatu kebenaran secara kebetulan saja. Kebenaran yang esensial itu ialah kebudayaan klasik yang muncul pada zaman
romawi yang menggunakan buku-buku klasik ditulis dengan bahasa latin yang
dikenal dengan nama Great Book.
Buku ini sudah berabad-abad lamanya mampu membentuk manusia–manusia
berkaliber internasional. Inilah bukti bahwa kebudayaan ini merupakan suatu
kebenaran yang esensial.
Tekanan
pendidikannya adalah pada pembentukan intelektual dan logika. Dengan
mempelajari kebudayaan Yunani Romawi yang menggunakan bahasa Latin yang sulit
itu, diyakini otak peserta didik akan terasah dengan baik dan logikanya akan
berkembang. Disiplin sangat
diperhatikan. Pelajaran dibuat sangat
berstruktur, dengan materi pelajaran berupa warisan kebudayaan, sehingga
mempercepat kebiasaan berfikir efektif.
Pengajaran terpusat pada guru.
2. Perenialis
Filsafat
pendidikan perenialis tidak jauh berbeda dengan filsafat pendidikan
esensialis. Kebenaran perenialis ada
pada wahyu Tuhan. Tentang bagaimana cara
menumbuhkan kebenaran itu pada diri peserta didik dalam proses belajar mengajar
tidaklah jauh berbeda antara esensialis dengan perenialis. Proses pendidikannya sama-sama bersifat
tradisional.
3. Progresivis
Filsafat pendidikan progresivis lahir di Amerika
Serikat. Menurut filsafat pendidikan
ini, tidak ada tujuan yang pasti, begitu pula tidak ada kebenaran yang
pasti. Ukuran kebenaran ialah yang
berguna bagi kehidupan manusia hari ini.
Sebagai konsekuensi dari pandangan ini, maka yang dipentingkan dalam
pendidikan adalah mengembangkan peserta didik untuk bisa berfikir, yaitu
bagaimana berfikir yang baik. Pendidikan
menjadi terpusat pada anak.
4. Rekonstruksionis
Filsafat pendidikan rekonstruksionis merupakan
variasi dari progresivisme, yang menginginkan kondisi manusia pada umumnya
harus diperbaiki. Mereka bercita-cita
mengkonstruksi kembali kehidupan manusia secara total. Semua bidang kehidupan harus diubah dan dibuat
baru aliran yang ekstrim ini berupaya merombak tata susunan masyarakat lama dan
membangun tata susunan hidup yang baru sama sekali, melalui lembaga dan proses
pendidikan.
5. Eksistensialis
Filsafat pendidikan eksistensialis berpendapat
bahwa kenyataan atau kebenaran adalah eksistensi atau adanya individu manusia
itu sendiri. Pendidikan menurut filsafat
ini bertujuan mengembangkan kesadaran individu, memberi kesempatan untuk bebas
memilih etika, mendorong pengembangan pengetahuan diri sendiri, bertanggung
jawab sendiri, dan mengembangkan komitmen diri.
Materi pelajaran harus memberi kesempatan aktif sendiri, merencana dan
melaksanakan sendiri, baik dalam bekerja sendiri maupun kelompok. Materi yang dipelajari ditekankan kepada
kebutuhan langsung dalam kehidupan manusia.
Peserta didik perlu mendapatkan pengalaman sesuai dengan
perbedaan-perbedaan individual mereka.
Guru harus bersifat demokratis dengan teknik mengajar tidak langsung.
3. Pancasila sebagai Landasan Filsafat Sistem Pendidikan
Nasional
Bangsa Indonesia memiliki filsafat
umum atau filsafat Negara ialah pancasila sebagai falsafah Negara, Pancasila
patut menjadi jiwa bangsa Indonesia, menjadi semangat dalam berkarya pada
segala bidang. Pasal 2 UU-RI No. 2 Tahun 1989 menetapkan bahwa pendidikan
Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Rincian
selanjutnya tentang hal itu tercantum dalam penjelasan UU-RI No. 2 Tahun 1989,
yang menegaskan bahwa pembangunan nasioanal termasuk dibidang pendidikan adalah
pengamalan pancasila, dan untuk itu pendidikan nasional mengusahakan antara
lain: “ Pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang
tinggi kualitasnya dan mampu mandiri”. Sedangkan ketetapan MPR-RI
No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila menegaskan pula
bahwa pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa
Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar Negara Republik
Indonesia. Pancasila sebagai sumber dari segala gagasan mengenai wujud bangsa
manusia dan masyarakat yang dianggap baik, sumber dari segala sumber nilai yang
menjadi pangkal serta mauara dari setiap keputusan dan tindakan dalam
pendidikan dengan kata lain : Pancasila sebagai sumber system nilai dalam
pendidikan.
Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila
(P4) Atau Ekaprasetya Pancakarsa sebagai petunjuk operasional pengamalan
pancasila dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bidang pendidikan. Perlu
ditegaskan bahwa pengamalan Pancasila itu haruslah dalam arti keseluruhan dan
keutuhan kelima sila dalam pancasila itu, sebagai yang dirumuskan dalam
pembukaan UUD 1945, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad
kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Belum ada upaya mengopersionalkan
Pancasila agar mudah diterapkan dalam kegiatan–kegiatan di masyarakat, termasuk
penerapanya dalam dunia pendidikan. Kalaupun ada bidang studi menyangkut moral
Pancasila, sebagan besar diterapkan seperti melaksanakan bidang-bidang studi
lain. Pendidik mengajarkannya kemudian peserta didik berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan pendidik dalam ujian-ujian.
Sementara itu dunia pendidikan di
Indonesia belum punya konsep atau teori-teori sendiri yang cocok dengan
kondisi, kebiasaan atau budaya Indonesia tentang pengertian dan cara–cara
mencapai tujuan pendidikan. Sebagian besar konsep atau teori pendidikan diimpor
dari luar negeri sehingga belum tentu valid untuk diterapkan di
Indonesia.
Teori-teori biasa didapat dengan cara belajar diluar
negeri, atau dengan cara melakukan studi banding. Dan yang paling banyak
dilakukan adalah dengan mendatangkan buku atau membeli buku dari Negara lain.
Inilah sumber konsep pendidikan di Indonesia. Kalaupun ada usaha menyusun
sendiri konsep pendidikan sebagian besar juga bersumber dari buku-buku ini.
Begitu pula tentang konsep-konsep pendidikan yang ditatarkan dalam
penataran-penataran pendidikan juga bersumber dari buku-buku. Dengan demikian
dapat diibaratkan membuat manusia Indonesia yang dicita-citakan seperti menerpa
patung dengan cetakan luar negeri. hasilnya tentu tidak sama persis seperti
manusia yang dicita-citakan, karena cetakan itu sendiri belum ada di Indonesia.
B. Implikasi Landasan
Filsafat Pendidikan
1. Implikasi Bagi Guru
Apabila kita konsekuen terhadap upaya
memprofesionalkan pekerjaan guru maka filsafat pendidikan merupakan landasan
berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai pekerja professional, tidaklah cukup
bila seorang guru hanya menguasai apa yang harus dikerjakan dan bagaimana
mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin pada kompetensi seorang
tukang.
Disamping penguasaan terhadap apa dan
bagaimana tentang tugasnya, seorang guru juga harus menguasai mengapa ia
melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan cara tertentu dan bukan
dengan cara yang lain. Jawaban terhadap pertanyaan mengapa itu menunjuk kepada
setiap tindakan seorang guru didalam menunaikan tugasnya, yang pada gilirannya
harus dapat dipulangkan kepada tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik
tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak.
Oleh karena itu maka semua keputusan serta perbuatan instruksional serta non-instruksional
dalam rangka penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan
harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara pendidikan (tugas professional,
pemanusiaan dan civic) yang dengan sendirinya melihatnya dalam perspektif
yang lebih luas dari pada sekedar pencapaian tujuan-tujuan instruksional khusus.
Perlu digarisbawahi di sini adalah
tidak dikacaukannya antara bentuk dan hakekat. Segala ketentuan prasarana dan
sarana sekolah pada hakekatnya adalah bentuk yang diharapkan mewadahi hakekat
proses pembudayaan subjek didik. Oleh karena itu maka gerakan ini hanya
berhenti pada “penerbitan” prasarana dan sarana sedangkan transaksi personal
antara subjek didik dan pendidik, antara subjek didik yang satu dengan subjek
didik yang lain dan antara warga sekolah dengan masyarakat di luarnya
masih belum dilandasinya, maka tentu saja proses pembudayaan tidak
terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot yang berlebihan
kepada kedaulatan subjek didik akan melahirkan anarki, sedangkan pemberian
bobot yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan penjajahan dan
penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan
pembudayaan manusia.
2. Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan
Tidaklah berlebihan kiranya bila
dikatakan bahwa di Indonesia kita belum punya teori tentang pendidikan guru dan
tenaga kependidikan. Hal ini tidak mengherankan karena kita masih belum saja
menyempatkan diri untuk menyusunnya. Bahkan salah satu prasaratnya yaitu teori
tentang pendidikan sebagimaana diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya, kita
masih belum berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam berbagi kegiatan
pembaharuan pendidikan selama ini maka yang diperbaharui adalah pearalatan
luarnya bukan bangunan dasarnya.
Hal tersebut dikemukakan tanpa
samasekali didasari oleh anggapan bahwa belum ada diantara kita yang memikirkan
masalah pendidikan guru itu. Pikiran-pikiran yang dimaksud memang ada
diketengahkan orang tetapi praktis tanpa kecuali dapat dinyatakan sebagi
bersifat fragmentaris, tidak menyeluruh. Misalnya, ada yang menyarankan
masa belajar yang panjang (atau, lebih cepat, menolak program-program
pendidikan guru yang lebih pendek terutama yang diperkenalkan didalam beberapa
tahun terakhir ini) ; ada yang menyarankan perlunya ditingkatkan mekanisme
seleksi calon guru dan tenaga kependidikan; ada yang menyoroti pentingnya
prasarana dan sarana pendidikan guru; dan ada pula yang memusatkan perhatian
kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga bisa bersaing dengan
jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu saja semua saran-saran tersebut di atas
memiliki kesahihan, sekurang-kurangnya secara partial, akan
tetapi apabila di implementasikan, sebagian atau seluruhnya, belum tentu
dapat dihasilkan sistem pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang efektif.
Sebaiknya teori pendidikan guru dan
tenaga kependidikan yang produktif adalah yang memberi rambu-rambu yang memadai
di dalam merancang serta mengimplementasikan program pendidikan guru dan tenaga
kependidikan yang lulusannya mampu melaksanakan tugas-tugas keguruan di dalam
konteks pendidikan (tugas professional, kemanusiaan dan civic).
Rambu-rambu yang dimaksud disusun dengan mempergunakan bahan-bahan yang
diperoleh dari tiga sumber yaitu: pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh
hasil penelitian ilmiah, analisis tugas kelulusan serta pilihan nilai yang
dianut masyarakat. Rambu-rambu yang dimaksud yang mencerminkan hasil telaah interpretif,
normative dan kritis itu, seperti telah diutarakan di dalam bagian uraian
dimuka, dirumuskan ke dalam perangkat asumsi filosofis yaitu asumsi-asumsi yang
memberi rambu-rambu bagi perancang serta implementasi program yang dimaksud.
Dengan demikian, perangkat rambu-rambu yang dimaksud merupakan batu ujian di
dalam menilai perancang dan implementasi program, maupun di dalam
“mempertahankan” program dari penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan ataupun dari
serangan-serangan konseptual.
C. Upaya Mewujudkan Filsafat Pendidikan di Indonesia
Pendidikan di Indonesia baru dalam
tahap perhatian. Perhatian-perhatian terhadap perlunya filsafat pendidikan itupun
baru muncul disana-sini belum terkoordinasi menjadi suatu perhatian besar untuk
segera mewujudkanya. Kondisi seperti ini tidak terlepas dari kesimpangsiuran
pandangan para pendidik terhadap pendidikan itu sendiri, seperti telah
diungkapkan di atas.
Ada suatu hasil penelitian bertalian
dengan hal di atas yang dilakukan oleh Jasin, dan kawan-kawanya (1994), dengan
responden para mahasiswa PGSD, SI, S2, dan S3 IKIP Jakarta dan para ahli
pendidikan di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Penelitian itu menemukan hal-hal
sebagai berikut :
1)
Lebih dari separo responden menginginkan
penegasan kembali pengertian pendidikan dan pengajaran.
2)
Hampir separo responden mahasiswa dan dosen
berpendapat bahwa ilmu pendidikan kurang dikembangkan, sementara itu seperlima
para ahli pendidikan menyatakan pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan
para calon guru.
3) Para mahasiswa dan dosen berpendapat pendidikan adalah
ilmu mandiri, sementara itu hampir sepertiga para ahli menyatakan ilmu
pendidikan adalah ilmu terapan.
4)
Semua responden menyatakan kurang mengenal
struktur ilmu pendidikan. Karena keragaman pandangan di atas membuat responden
terpecah menjadi sebagian mendukung pernyataan guru tidak mendidik melainkan
mengajar dan sebagian lagi menolak.
Dari hasil penelitian tersebut di atas
dapat ditarik sejumlah masalah bertalian dengan ilmu pendidikan, yaitu :
(1) Belum jelas pengertian pendidikan dan pengajaran.
(2) Ilmu Pendidikan kurang dikembangkan.
(3) Ilmu Pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan
para calon guru.
(4) Belum jelas apakah ilmu Pendidikan merupakan ilmu
dasar atau ilmu terapan.
(5) Struktur ilmu pendidikan kurang dikenal.
(6) Belum jelas apakah guru mendidik dan mengajar atau
hanya mengajar saja.
Keenam masalah tersebut di atas
menunjukan bahwa pendidikan, khususnya pendidikan sebagai ilmu belum
ditangani. Mulai dari pengertian, apakah sebagai ilmu dasar atau ilmu
terapan, struktur ilmu itu, sampai dengan penerapannya pada para calon guru dan
guru-guru masih belum jelas. Kondisi ilmu pendidikan seperti ini terjadi karena
memang ilmu itu belum digali dan dikembangkan.
Untuk mengembangkan ilmu Pendidikan
yang bercorak Indonesia secara valid, terlebih dahulu dibutuhkan
pemikiran dan perenungan itu adalah filsafat yang khusus membahas pendidikan
yang tepat diterpkan dibumi Indonesia . Dengan kata lain, untuk menemukan
teori-teori pendidikan yang bercorak Indonesia dibutuhkan terlebih dahulu
rumusan filsafat pendidikan yang bercorak Indonesia pula.
Bagaimana kiat untuk meningkatkan
kegiatan usaha merumuskan filsafat pendidikan Indonesia ini, yang kini
baru dalam tahap perhatian yang bersifat sporadic ? Tampaknya kiat itu
perlu disesuaikan dengan alam kebiasaan bangsa Indonesia saat ini. Sesuatu akan
terjadi secara relative lebih mudah bila gagasan itu bersumber dari dan
disepakati atau disetujui oleh pemerintah. Filsafat pendidikan akan lebih mudah
mendapat jalan dalam perkembanganya manakala pemrakarsa dapat menggugah hati
pemerintah untuk menyetujuinya.
Upaya mendorong pemerintah untuk
memberi syarat akan pentingnya merumuskan filsafat pendidikan dan teori
pendidikan yang bercorak Indonesia sudah pernah dilakukan menjelang
sidang umum MPR (kompas, 27 Nopember 1992), sebagai satu sumbangan untuk bahan sidang umum
itu. Namun GBHN 1993 sebagai produk sidang itu, tidak mencantumkan perlunya
perumusan filsafat dan teori pendidikan itu. Hal ini menunjukkan kemauan
politik pemerintah kearah itu belum ada. Mudah-mudahan di waktu-waktu yang akan
datang kemauan itu akan muncul.
Di samping kunci utama untuk memulai
kegiatan pengembangan filsafat pendidikan itu belum ada, ada lagi kunci kedua
yang membuat sulitnya mengembangkan filsafat dan teori pendidikan itu, yaitu
kesulitan menjabarkan sila-sila Pancasila agar mudah diterapkan di lapangan.
Memang benar sila-sila Pancasila sudah dijabarkan menjadi 45 butir, tetapi
penjabanran itu belum tentu sesuai dengan kebiasaan kerja para ahli pendidikan
yang membuat hasil kerja mereka lebih mudah diterapkan di lapangan. Sampai
sekarnag tidak setiap ahli diperkenankan menjabarkan sila-sila Pancasila. Yang
diperbolehkan menjabarkan sila-sila itu hanya BP7 pusat, dengan maksud sangat
mungkin unutk menghindari kesimpang-siuran makna sila-sila Pancasila itu
sendiri.
Tetapi bila para ahli pendidikan yang
berwenang merumuskan filsafat pendidikan tidak diperkenankan menjabarkan atau
menafsirkan sendiri sila-sila Pancasila itu akan membatasi kebebasan
mereka berfikir dan mewujudkan filsafat itu. Bila hal itu tidak bisa
ditawar-tawar, mungkin dapat diambil jalan kompromi yaitu dengan dibentuk
tim yang anggotanya beberapa ahli pendidikan dan beberapa anggota BP7 pusat.
Dengan cara ini kemacetan salah satu faktor penghambat pengembangan filsafat
pendidikan di Indonesia dapat diatasi.
Andaikan isyarat untuk mewujudkan
filsafat pendidikan sudah ada atau sudah ada suatu kelompok yang berupaya
merumuskan filsafat itu, maka ada beberapa hal yang harus dipikirkan. Hal-hal
yang dimaksud adalah:
(1)
Apakah filsafat pendidikan yang akan dibentuk, yang
sesuai dengan kondisi dan budaya Indonesia akan diberi nama Filsafat Pendidikan
Pancasila atau dengan nama lain ?
(2)
Apakah filsafat pendidikan itu diambil dari filsafat
pendidikan internasional yang sudah ada, dengan memilih salah satu dari
Esensilais, Perenialis, Progesivise, Rekonstruksionis, dan Eksistensialis?
Sehingga tinggal merevisi agar cocok dengan kondisi Indonesia.
(3)
Ataukah filsafat itu dimunculkan bersumber dari
filsafat-filsafat umum yang berlaku secara Internasional, seperti yang
dilaksanakan oleh Negara Australia. Ahli pendidikan di Australia menyatakan
filsafat yang mendasari pendidikan mereka adalah Liberal, Demokrasi, dam
multicultural Seakan-akan mereka tidak memiliki filsafat khusus tentang
pendidikan (Made Pidarta, 1997 : 102).
ISPI (1989) mengingatkan bahwa tugas utama para ahli
ilmu Pendidikan adalah (1) mengungkapkan pikiran yang sistematik dan mendasar
mengenai implikasi filsafat Pancasila dalam filsafat pendidikan nasional yang
akan dibentuk, dan (2) dalam mengungkapkan sumber-sumber dari luar termasuk
teori pendidikan dan perlu diadakan saringan-saringan agar sesuai dengan
filsafat negara kita (Made Pidarta, 1997 : 104)
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan sebagai berikut :
a.
Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang
mendalam sampai ke akar-akarnya, sedang kebenaran ilmu itu bersifat relative,
karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang diamati dan hanya sebagian
kecil saja.
b.
Pendidikan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ( P4 )
atau Eka Prasetya Panca Karsa adalah sebagai petunjuk operasional pengamalan
pancasila dalam kehidupan sehari-hari termasuk di dalamnya adalah bidang
pendidikan.
c.
Untuk mengembangkan ilmu Pendidikan yang bercorak
Indonesia secara valid, terlebih dahulu dibutuhkan pemikiran dan
perenungan itu adalah filsafat yang khusus membahas pendidikan yang tepat
diterpkan dibumi Indonesia.
d.
Di Indonesia belum punya teori tentang pendidikan guru
dan tenaga kependidikan yang bercorak Indonesia.
B. Saran
a. Makalah ini merupakan resume dari berbagai sumber,
untuk lebih mendalami isi makalah kiranya dapat merujuk pada sumber aslinya
yang tercantum dalam daftar pustaka.
b.
Kritik dan saran yang membangun tentunya sangat
diharapkan untuk kesempurnaan makalah ini.
sangat bermanfaat
BalasHapusMy blog